Makalah Hukum dan Kebijakan Film.


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
  Film sebagai media dapat dimaknai sebagai kanal pembebasan, mesin yang bisa dipakai untuk
mengungkapkan berbagai rasa dari para pembuatnya. Disadari atau tidak, film adalah bahasa komunikasi yang paling cepat ditangkap oleh manusia, sehingga melalui film kita dapat lebih mudah menyampaikan visi dan misi yang diemban oleh film itu sendiri. Film sendiri sejak munculnya telah menjadi fenomena yang sangat menarik. Betapa tidak, seiring perkembangan teknologi dan penerapannya film dapat dimasukan disiplin seni (baik berupa hiburan maupun berupa informasi). Film mempunyai fungsi pendidikan, hiburan, informasi, dan pendorong karya kreatif. Film juga dapat berfungsi ekonomi yang mampu memajukan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat.
  Indonesia sendiri, adalah negara yang cukup kaya dengan hasil karya fiilm yang diciptakan oleh anak bangsa sendiri. Baik film yang berkualitas ‘baik’ ataupun ‘kurang baik’.
  Berbanding lurus dengan semakin berkembangnya film di Indonesia, maka Indonesia melalui pemerintahnya membuat suatu undang-undang dan lembaga yang dapat menampung maupun menjadi tiang-tiang batasan dari film itu sendiri, agar film tersebut dapat berkembang semestinya. Lembaga itu sendiri sekarang dikenal sebagai Lembaga Sensor Film. Melalui lembaga inilah, film-film yang telah dibuat akan disaring kembali agar kemudian dapat disebarkan atau ditayangkan dengan kualitas yang lebih layak bagi masyarakat di Indonesia. Undang-undang yang telah dibuatpun diharapkan tidak membatasi kreatifitas dari para pembuat film itu sendiri, melainkan agar lebih dapat meningkatkan kreatifitas dari para pelaku pembuat film itu sendiri.
  Melihat sudut pandang atau perspektif diatas maka dapat dikatakan juga bahwa film pada satu sisi dapat dilihat sebagai karya seni yang dapat menggambarkan perkembangan ekonomi dan kesejahteraan serta peradaban sebuah masyarakat. Sebaliknya, film juga dapat berdampak terhadap hancurnya tatanan kehidupan masyarakat, baik dari segi ideologi, sosial-politik, dan eksistensi sebuah bangsa. Demikian pula bagi bangsa Indonesia, pengaruh karya film dapat berdampak pada aspek tatanan etika, moral, ideologi, keamanan, dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  Dalam konteks tersebut di atas, Lembaga Sensor Film (LSF) harus mampu bersama dengan masyarakat, guna mempersiapkan masyarakat dalam melaksanakan self censorship atau swasensor. Artinya, masyarakat dipersiapkan secara dewasa dan bertanggung jawab guna memilih dengan sadar berbagai program dan tayangan film yang sesuai dengan kebutuhannya.
  Dalam perspektif ini, LSF harus mampu membangun dialog yang konstruktif, strategis serta substantif, baik dengan stake holder, pemangku kepentingan perfilman nasional maupun masyarakat,  guna membangun kesadaran masyarakat terhadap pengaruh film atas sebuah tatanan kehidupan dan peradaban bangsa.
  
  BAB II
   ISI
  Perkembangan perindustrian film nasional maupun internasional ternyata mendapat sambutan yang luar biasa bagi masyrakat Indonesia. Terbukti dengan membanjirnya film-film yang diputar dibioskop Indonesia dan maraknnya pembajakan film-film. Film seperti sudah menjadi hobi dan lifestyle baru bagi masyrakat Indonesia khususnya mereka yang tinggal di perkotaan. Seiring dengan berkembangnya waktu pula terciptalah sebuah Undang-undang no. 33 tahun 2009 yang isinya mengatur tentang segala kegiatan yang berhubungan dengan film sebagai karya seni dan budaya di Indonesia, yang sekaligus menjadi pedoman darii LSF (Lembaga Sensor Film) dalam pengambilan setiap keputusan di dunia perfilman itu sendiri.
  UU No. 33 tahun 2009 terdiri sampai 90 pasal yang isinya mengatur segala kegiatan yang berhubungan dengan film sebagai karya seni budaya yang dapat dipertunjukkan yang mengandung fungsi budaya, pendidikan, hiburan, informasi, pendorong karya kreatif dan ekonomi. Awal kemunculan undang-undang perfilman adalah sejak dibubarkannya departemen penerangan di era pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, yang lantas membawa kebingungan kepada orang-orang film yang mempertanyakan naungan perfilman nasional di departemen yang mana, disisi lain film tetap berjuang hidup sendiri. Memanfaatkan momentum ketidakjelasan naungan tersebut orang-orang film mulai menata awal sistem perfilman nasional dengan desakan undang-undang perfilman yang baru, yang mampu mengakomodir kebutuhan mereka sekaligus yang mampu memahami semangat jaman, maka lahirlah UU No 33 tahun 2009 menggantikan UU No 8 tahun 1992.
  Seiring berjalannya waktu pula lah, LSF (Lembaga Sensor Film) mencatat beberapa film yang dinyatakan tidak lulus sensor dan bahkan tidak layak tayang, karena muatan sara, pornografi, ataupun segala sesuatu yang dapat mengganggu ketertiban umum. Tapi tak ayal pensensoran ini terkadang menjadi sebuah kontroversi dimasyrakat. Salah satu kasus pelanggaran UU Perfilman adalah film Balibo Five. Filmyang merupakan besutan sutradara Australia, Robert Conolly, yang pada awal kemunculannya telah menuai berbagai kontroversi dan berujung pada pelarangan izin tayang secara sepihak oleh LSF. Marak dibeberapa stasiun televisi, surat kabar nasional maupun internasional, artikel majalah dan internet, mengekspose film ini yang memuat isu sensitif yang berpotensi merusak hubungan bilateral Indonesia dan Australia bahkan dapat membuka luka sejarah antara Indonesia dan Timor-Timur.
  Film ini sendiri bercerita tentang lima wartawan asal Australia yang sedang meliput invasi Indonesia ke Balibo di Timor Timur yang saat ini bernama Timor Leste yang bertujuan untuk memusnahkan gerakan komunis di Timor Leste yang dipimpin oleh Fretelin. Bagi Indonesia, pada saat Fretelin mengumumkan pemerintahan atas Timor Timur, dianggap sebagai salah satu ancaman karena Fretelin berhaluan komunis dan Indonesia khawatir akan muncul negara Kuba yang baru di Asia Tenggara. Pada saat itu ketiga wartawan tersebut dieksekusi oleh TNI karena untuk menghindari tersebarnya berita Indonesia yang pada saat itu sedang menginvasi Timor timur. Hal ini merupakan suatu tindakan kekerasan paling kejam atas HAM baik warga negara Indonesia ataupun warga negara asing.
   Rasa khawatir terhadap Balibo Five lebih disebabkan karena penggambaran sosok Indonesia yang sangat brutal, kejam, sadis, dan tidak manusiawi yang diibaratkan sesosok monster. Hal ini menurut LSF berpotensi untuk mengganggu ketertiban umum karena Balibo Five melabeli dirinya dengan “based true story” yakni kisah nyata yang berpijak pada sejarah Indonesia. LSF semakin yakin bahwa ada muatan pesan dalam Balibo Five yang tidak layak konsumsi oleh warga negara Indonesia karena film tersebut berusaha menjatuhkan citra Indonesia di mata dunia dan berdampak buruk pada hubungan internasional Indonesia. Isu tersebut sedemkian rupa sehingga LSF merasa perlu mengambil sikap terhadap pesan yang hendak sutradara sampaikan dalam pesan film tersebut.
  Namun, tentu saja penyensoran film secara sepihak ini ditentang oleh Produser, Sutradara, sekaligus pemilik dari film ini. Kemudian mereka menuntun LSF dengan undang-undang yang ada di Indonesia sendiri menurut mereka, LSF tidak sesuai dan melanggar UU No. 33 tahun 2009 pasal 60 yang berisi :
Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film yang mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
Lembaga sensor film melaksanakan penyensoran berdasarkan prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor.
Lembaga sensor film mengembalikan film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki.
Lembaga sensor film mengembalikan iklan film yang tidak sesuai dengan isi film sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) kepada pemilik iklan film untuk diperbaiki.
Lembaga sensor film dapat mengusulkan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melalaikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.

  Pada film ini LSF (Lembaga Sensor Film) Indonesia melarang penayangan film Balibo Five di seluruh Indonesia. Seharusnya LSF hanya boleh mensensor beberapa bagian dari film tersebut karena mengandung beberapa adegan yang mengisahkan tertembaknya lima wartawan Australia di Timor- Timur pada pertengahan tahun 70an. Namun pada kasusnya LSF malah melarang penayangan film Balibo five karena akan meresahkan masyarakat Indonesia. Pada dasarnya juga pada point ke dua dari undang-undang ini adalah, jika hendak melakukan sensor seharusnya pihak LSF yang dalam hal ini mewakili pemerintah, harus berdialog terlebih dahulu kepada Sutradara, Produser atau pemilik dari film ini. Karena pada dasarnya juga point ini lebih mengedepankan prinsip dialog dari kedua belah pihak, bukan sepihak. Kesalahan LSF pada kasus ini adalah, mereka (LSF) hanya melakukan pelarangan secara sepihak, bukan dari kedua belah pihak dan mendengarkan dulu apa yang diinginkan oleh pemilik film. Karena meskipun film ini dimiliki oleh negara Asing, tetap saja sebagai pemilik film ini mereka juga seharusnya mendapatkan perlakuan, dan hak yang sama.
  Terlepas dari itu semua sejauh ini, dalam prosesnya belum terlalu banyak film yang melanggar undang-undang karena film-film yang akan ditayangkan, karena sebelumnya telah diawasi terlebih dahulu oleh Lembaga Sensor Film (LSF) agar dapat dikatakan sebagai film yang layak tayang.
  Jadi pada intinya dari semua hal tersebut undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman, berisi seluruh peraturan tentang film yang mencakup kegiatan non komersial dan usaha yang bersifat komersial. Yang bersifat nonkomersial dilaksanakan oleh pelaku kegiatan dan yang bersifat komersial dilakukan oleh pelaku usaha. Semua itu melibatkan insan perfilman, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat yang memiliki fungsi dan peranan masing-masing yang diatur dalam peraturan perundangan-undangan tersebut.

0 Response to "Makalah Hukum dan Kebijakan Film."

Post a Comment